Gunung Papandayan: Sejuta Cerita, Sejuta Cinta (part 1)
Masih dalam cerita tentang pendakian, kali ini pendakiannya ke Gunung Papandayan. Meskipun telah banyak ulasan tentang gunung ini, tapi ceritanya tidak ada habis-habisnya karena mungkin tiap kali mendaki gunung ini pasti ada cerita tersendiri yang bisa membuat tertawa, tersenyum, sedih juga kadang-kadang tersiksa, heee.
Awal cerita dimulai ketika sumpeknya suasana kampus, saya bersama seorang teman nongkrong malam-malam di depan sekretariat, setelah cape teriak-teriak nyanyi bang Iwan Fals, akhirnya nyerah juga dengan habisnya beberapa gelas kopi dan sebungkus besar gorengan untuk terus nongkrong disana. Setelah ngobrol kesana kemari saya berpikiran untuk menghabiskan malam di "terminal" (sebutan tempat parkir di gunung Papandayan), setelah mengajak teman dan dia menyetujui, akhirnya kami siap-siap packing dengan alat seadanya kami berangkat menuju ke Papandayan.
Waktu itu sekitar pukul 20.30, angkot jurusan RSU-Terminal Guntur sudah hampir tidak ada, tapi alhamdulillah setelah sabar menunggu, akhirnya ada satu angkot yang nganterin ke perempatan maktal. Angkot sudah, sekarang masalahnya angkutan ke Cisurupan, ada dua jenis angkutan, yaitu angkot Cikajang dan Microbus (atau orang garut bilang elf) setelah berdiskusi panjang akhirnya kami memilih naik microbus, dengan alasan lebih cepat dan murah...hehee.
Setelah sampai di Cisurupan, kami berhenti dulu di minimarket untuk belanja logistik, tapi beberapa langkah setelah beres belanja teman saya tertegun, seakan tahu apa yang ada dipikirannya, saya langsung bilang "tenang, nanti ada yang jemput". Iya benar, dia sedang memikirkan bagaimana caranya untuk bisa sampai ke "terminal", kebayang kalo jalan kaki......Baru sepuluh menit saya diam di Mesjid Agung Cisurupan, ada dua motor yang menghampiri untuk menjemput ke terminal.
Singkat cerita lagi, kami sampai di terminal, alhamdulillah sepi, hee, cuma ada dua kedai yang buka itupun yang satu mau tutup karena yang punya sudah 5 watt alias ngantuk berat. Setelah ngobrol-ngobrol dengan penjaga akhirnya kami membuka bekal logistik untuk mengisi perut dan mengusir hawa dingin.
Setelah kenyang makan, kami pamit untuk naik ke Lawang Angin, meski "dilarang" oleh penjaga, tapi berdasarkan pengalaman, mereka akhirnya mengizinkan, jam 23.00 kami sampai di Lawang Angin, sepi sekali, sesekali ada yang berteriak di Pondok Saladah, akhirnya kami memutuskan masang tenda Lawang Angin dan tentunya menghabiskan malam disana.
No comments: